Namanya Triana Kurniasih, gadis kecil berkulit sawo matang dengan senyum manis di bibirnya. Matanya besar dengan rambut bergelombang sepanjang bahu. Seragam merah putihnya bersih bersinar, dengan menyandang tas cantik yang tak murah. Ia adalah murid baru di kelas saya yang hijrah dari Bandung, sebuah kota besar yang hanya pernah saya lihat di peta.
Hari itu Uti, nama panggilannya, resmi duduk di kursi sebelah saya. Kami pun mulai akrab dan mengobrol banyak hal. Saya dan Uti duduk di bangku kelas lima di sebuah sekolah dasar negeri di Bandarlampung.
Uti teman masa kecil saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia punya kakak yang bernama Pandu, dan adik bernama Panji. Karena berasal dari Bandung, logat Sunda masih sedikit terdengar ketika ia berbicara.
Baca juga: Gak Nyangka, Menulis Bisa Seasyik Ini dan Bikin Nyandu!
Ajaibnya, ternyata rumah saya dan Uti berdekatan! Ia tinggal di kompleks perumahan elit milik Bank Exim, sebuah bank di lini ekspor impor yang dulu sangat tersohor. Sepertinya ayah Uti memiliki jabatan tinggi karena tinggal di perumahan elit tersebut. Jaraknya hanya seratus meter dari rumah saya, sehingga saya sering berkunjung ke rumahnya sepulang sekolah.
Saya ingat betul ketika pertama kali menjejakkan kaki di perumahan elit itu. Area perumahan begitu bersih tanpa sedikit pun sampah tercecer. Terdapat taman yang luas dengan rumah modern berjajar rapi di sisi kiri dan kanan.
Taman itu ditumbuhi rumput hijau yang terawat, dengan playground di sisi kiri. Sementara lapangan tenis berada bersebrangan dengan gerbang perumahan. Baru kali itu saya melihat secara langsung bentuk lapangan tenis yang memiliki pemandangan laut biru memukau.
Tak kalah indah, rumah teman masa kecil saya begitu rapi dengan desain yang minimalis modern. Rumah bercat putih itu memiliki ruang keluarga dengan pintu kaca yang besar. Di balik pintu kaca terdapat taman luas dengan rumput hijau berbaris rapi. Aroma wangi parfum menyeruak memenuhi rumah itu. Wangi yang lembut dan menenangkan, membuat saya betah berlama-lama bermain di sana.
Baca juga: 6 Alasan Memilih Sekolah Islam Terpadu Pelita Khoirul Ummah Untuk Jadikan Anak Cerdas Dunia Akhirat
Jika saya datang, teman masa kecil saya akan mengajak bermain rumah-rumahan. Uti memiliki sepasang boneka beruang seukuran ibu jari lengkap dengan rumah dan perabotannya. Asyik sekali kami menata perabotan dan menggerakkan boneka beruang ke sana ke mari.
Bosan bermain rumah-rumahan, kami beralih bermain boneka Barbie. Uti punya koleksi beberapa Barbie dengan rambut yang panjang dan baju menawan. Mata saya berbinar-binar melihat mainan yang dimiliki Uti. Sebab, saya tidak pernah bermimpi punya mainan yang pasti harganya selangit itu.
Kami tak pernah kehabisan akal untuk merangkai waktu bermain bersama. Uti terkadang mengaajak serta ke kamarnya untuk bersama membaca komik Jepang yang lucu. Kami akan bermain di taman jika jenuh bermain di dalam ruangan. Hari-hari kami habiskan dengan penuh kegembiraan dan canda tawa.

Sepucuk surat dari teman masa kecil yang membuat sedih dan bahagia (foto: Meta AI)
Sampai waktu itu tiba, ketika Uti bilang bahwa ia harus segera pindah ke Jakarta. Kurang dari satu tahun, ayah Uti mendapat jabatan baru di ibukota. Sebuah kabar yang mengejutkan dan tentu saja membuat hati saya pilu.
Baca juga: Dari Secapa Hingga Setukpa, Metamorfosa Hidup yang Nyata
Saya begitu sedih dan kesepian sepeninggal Uti, meski ia berjanji akan sering berkirim surat. Surat hanya satu-satunya komunikasi yang mungkin kami lakukan. Sebab, telepon belum begitu populer dan terbatas kepemilikannya.
Walhasil, kami mulai sering berkirim surat. Uti kerap menyelipkan tanda kasih bersamaan dengan surat yang dikirim. Seperti gantungan kunci Tweety yang berwarna kuning cerah, sapu tangan polkadot aneka warna, hingga kreasi prakarya yang dibuatnya sendiri.
Isi suratnya pun beragam. Ia kerap bercerita tentang sekolah, jalan-jalan di mall besar, hingga cerita teman barunya. Sayangnya, berkirim surat hanya bertahan dua atau tiga tahun. Kami berhenti berkirim surat di bangku kelas dua sekolah menengah pertama.
Sepertinya ia kembali berpindah alamat dan lupa memberi tahu saya. atau sebaliknya, saya yang lupa alamat rumah baru Uti. Saya tak ingat pasti alasan persisnya.
Baca juga: Membuat Resolusi Tahun Baru, Penting Gak Sih?
Ketika media sosial Facebook muncul, saya mencoba mencarinya dan dengan mudah menemukan akun Facebook Uti. Ia sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang memiliki senyum manis. Tak banyak perubahan di wajahnya. Masih cantik seperti dulu.
Namun, saya tak punya keberanian untuk menyapa dan mengirimkan pesan. Bagi saya, Uti terlihat sebagai gadis metropolitan yang memiliki kehidupan jauh jika dibandingkan dengan saya yang tumbuh di kota kecil.
Meski begitu, kebersamaan kami dahulu sebagai teman masa kecil masih lekat di ingatan. Terkadang, saya tersenyum hingga menitikkan air mata jika kembali mengingat kebersamaan kami. Dengan kondisi penglihatan saya yang sekarang, rasanya tak mungkin bisa menemukannya meski mencari di berbagai media sosial.
Hanya berharap, teman masa kecil saya Triana Kurniasih hidup dengan bahagia dan sehat di manapun b
Leave A Comment